Pagi itu 7 Agustus 2007, jam enam pagi hari pintu Posko Tagana Jatim diketuk oleh tangan yang terkesan ragu-ragu, pelan tanpa tekanan. Kubuka pintu, dan sesosok lelaki separuh baya berbaju batik biru yang lusuh, gurat kekerasan hidup petani terlihat jelas dilipatan matanya. Tersenyum, dan kemudian berkata ,"Pak, kulo nyuwun pitulungan! Dospundi carane mbalek aken keluwihan yotro ganti rugi sabin kulo" Aku masih belum percaya apa yang dikatakannya, sepagi ini semua orang sedang bersicepat untuk mencari nafkah walau kadang dengan cara "spanyol" atau mengkorup duit. Lha ini di depanku ada seorang petani, salah satu korban lumpur lapindo dengan rasa was-was ingin mengembalikan uang. Sehingga dengan pelan kutanyakan dan kutegaskan lagi ,"menopo leres bapak badhe wangsul aken yotro niki, tulus? ikhlas? mboten gawe-gawe saestu" Dia hanya mengangguk pelan tanpa suara, dan kemudian duduk terpekur untuk menungu aku ganti baju tanpa sempat mandi. Ke kantor BPLS tujuanku mengantar Pak Waras untuk mengembalikan kebelihan itu, karena dari sanalah verifikasi untuk identifikasi tanah warga berawal. Langsung kutemui Pak Yusuf (Ketua Tim pengarah Verifikasi BPLS) dan Pak Minto (Ketua Tim Verifikasi BPLS), dan memohon hari itu juga proses pengembalian ini harus tuntas, agar Pak Waras dapat menggunakan dana itu segera yang menjadi haknya. Kami dan Tim verifikasi 2 orang secepatnya mentransfer kembali dana tersebut ke rekening asal, dan malamnya ke PT Minarak Lapindo Jaya untuk proses pengembalian. Pak Hasrial salah satu manajemen MLJ mengantar kami untuk menarik kembali kelebihan itu ke rekening MLJ. Tepat pukul 21.00 WIB, Pak Waras telah dapat menggunakan dana dari rekeningnya yang merupakan pembayaran ganti rugi 20% dari Lapindo Brantas Inc. Istrinya, Bu Astiyah akan kembali sehat karena mengalami kecemasan sampai diare karena kelebihan itu. Aku tatap lagi wajah lelaki itu bisa tersenyum dan lega seolah telah melepas hajatnya. "Mosok ngedhol wedhus, di bayar taek wedhus" dia mencoba berkelakar untuk menunjukkan kegembiraanya bisa pulang dengan tenang menemui bu Astiyah, istrinya. Kejujuran yang lugu dari masyarakat, dan menjadi perilaku yang biasa terjadi di kehidupannya.
29 Agustus, 2007
28 Agustus, 2007
Emergency Call
Tanggap Darurat (9/8/06); Malam itu jam 24.00 WIB emergency call bagi semua personil Tagana Jatim dilakukan untuk merapat di Desa Jatirejo, karena kondisi tanggul di Jatirejo sangat rawan dan potensi runtuh. 1-2 jam kemudian 9 personil merapat dengan perlengkapan lengkap, di siagakan di Posko Bankom ORARI Desa Jatirejo (runah Pak Joko Linglung, kami kenal setelah ngobrol semalaman). Tanggul di depan POM bensin mulai merembes dan tanahnya tergerus, terlihat Pak Mulyadi (Camat Porong) dengan beberapa staf Muspika Porong melihat ke lapangan. Desa Siring Wetan nampak lengang, ketika kita sisir sambil menawarkan evakuasi. Ada sebuah Toko Pracangan masih terbuka pintunya. "Mari pak kalau evakuasi karena malam ini kondisi tanggul sudah mengkhawatirkan", kita tawarkan dengan rasa was-was, takut membuat panik pemilik toko itu. setelah keliling seperti sales jualan produk, tawaran untuk evakuasi tak digubris dengan enteng warga menjawab "terima kasih mas, masih aman kok". Kemudian tengah malam itu, beberapa warga terlihat menjaga tanggul dengan penuh rasa curiga terhadap orang yang melintas, terlihat sosok seorang pemuda berambut gondrong berlari kecil tanpa alas kaki terburu-buru di depan PPI, "jaga sebelah sana" teriaknya memecah malam yang mencekam. Sari yang menjaga warung belakang SDN Siring I, juga tak menggubris tawaran kita, dengan alasan banyak orang-orang drilling Relief Well 1 yang kan menolongnya. Jam 5 pagi kita kemnnbali ke Posko untuk sekedar istirahat dan mengisi perut, dan sempat tertidur. Akhirnya (10/8/06) jam 09.00 WIB pagi tepat " Ndan....!!! tanggul itu jebol dan menimbulkan banjir bandang air bercampur lumpur yang menbuat panik warga Siring Wetan,'' seru tim posko lapangan lewat telepon dan tanpa mandi semua personil di kerahkan untuk evakuasi Siring dan Jatirejo.....